BIROKRASI
DAN PATOLOGI BIROKRASI
KEBIJAKAN PENDIDIKAN
KEBIJAKAN PENDIDIKAN
I.
Pendahuluan
Birokrasi tidak bisa dilepaskan dalam sistem pemerintahan maupun pendidikan
di Indonesia. Dalam dunia pendidikan, sebuah
organisasi sangat diperlukan dalam rangka memperlancar fungsi dan proses
pendidikan. Dalam menjalankan fungsi organisasi pendidikan tidaklah dapat
dipisahkan dengan birokrasi. Pada dasarnya, birokrasi ini hakikatnya adalah salah
satu perangkat yang fungsinya untuk memudahkan pelayanan publik. Birokrasi
digunakan untuk dapat membantu mempermudah dalam memberikan layanan pendidikan
yang pasti akan mempengaruhi dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Birokrasi merupakan instrumen
pembangunan pendidikan. Kekuatan birokrasi Indonesia sebetulnya bisa menjadi
mesin penggerak yang luar biasa apabila mampu didayagunakan untuk memajukan
kesejahteraan rakyat. Jika birokrasi dijalankan dengan benar, konsisten dan
bertanggungjawab, maka kualitas pendidikan akan maju.
Keberadaan birokrasi sampai saat ini masih membawa polemik yang
berkepanjangan. Birokrasi di Indonesia tidak pernah lepas dari permasalahan. Persoalan
penyakit birokrasi atau yang sering disebut patologi birokrasi bersumber dari
rekruitmen dan penempatan birokrat yang tidak berdasarkan merit system
(berdasarkan jenjang karir). Selain itu keterlibatan birokrasi dalam politik
dianggap sebagai hal yang harus diwaspadai karena birokrasi bukanlah institusi
atau lembaga yang bisa mewakilkan kepentingan kelompok atau golongan tertentu.
Secara makro atau nasional persoalan birokrasi di
Indonesia lebih didominasi karena kurangnya pemisahan yang jelas antara
kepentingan politik dan administrasi. Masih sering dijumpai birokrat terlibat
secara aktif dalam kegiatan politik dan juga adanya politisi yang selalu
mendominasi proses-proses birokrasi sehinggga kebijakan yang diambil dalam
birokrasi merupakan kebijakan politik dari orang-orang yang memiliki
kepentingan tertentu. Upaya meminimalisir penyakit yang terjadi di
birokrasi diharapkan dapt membawa perubahan terhadap pelayanan publik yang
prima. Maka dari itu dalam makalah ini akan dibahas secara mendetail tentang
birokrasi pendidikan serta patologi birokrasi dalam dunia pendidikan di
Indonesia.
II.
Rumusan Masalah
A.
Apa
pengertian birokrasi?
B.
Bagaimana
definisi brokrasi dalam konteks kebijakan pendidikan?
C.
Bagaimana
definisi patologi birokrasi ?
III.
Pembahasan
A.
Definisi
birokrasi
Birokrasi
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: (a) sistem pemerintahan yang
dijalankan oleh pegawai pemerintah karena berpegang pada hirarki dan jenjang
jabatan, dan (b) cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta
menurut tata aturan yang banyak liku-likunya.[1]
Ditinjau
dari sudut etimologi, birokrasi berasal dari kata bureau dan kratia (Yunani), bureau
artinya meja atau kantor dan kratia artinya pemerintahan. Jadi birokrasi
berarti pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dari meja ke meja. Birokrasi
adalah alat kekuasaan untuk menjalankan keputusan-keputusan politik. Kekuasaan
melekat pada jabatan pimpinan organisasi untuk mengatur organisasi.[2]
Birokrasi
merupakan suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida
dan biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer.
Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung kurang
fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir yang harus
dilengkapi.[3]
Pejabat
yang disebut birokrat itu melaksanakan tugasnya sesuai dengan peran dan fungsinya. Birokrasi terjadi
dalam suatu organisasi (pemerintah), sementara itu dalam suatu organisasi
terdiri dari individu-individu yang bekerja. Individu-individu yang bekerja
itulah yang memainkan peran dalam birokrasi. Untuk itu penting juga untuk
memahami motivasi karir individu dalam organisasi. Seorang individu yang
bekerja dalam organisasi ada yang memiliki motivasi untuk meniti karir
tertinggi, tapi ada juga yang ingin tetap pada satu posisi yang saat ini
diduduki. Permasalahan sering muncul ketika seorang individu yang menduduki
posisi tertentu tidak lagi mampu melaksanakan tugas dan fungsi seperti yang
diinginkan. Dalam kondisi semacam ini seringkali individu menerapkan strategi
“tidak melakukan apa-apa”
Menurut
Bintoro Tjokroamidjojo (1984) ”Birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara
teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang”. Dengan
demikian sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi adalah agar pekerjaan dapat
diselesaikan dengan cepat dan terorganisir. Bagaimana suatu pekerjaan yang
banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh banyak orang sehingga tidak terjadi
tumpang tindih di dalam penyelesaiannya, itulah yang sebenarnya menjadi tugas
dari birokrasi.
Blau dan
Page (1956) mengemukakan ”Birokrasi sebagai tipe dari suatu organisasi yang
dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara
mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang”. Jadi
menurut Blau dan Page, birokrasi justru untuk melaksanakan prinsip-prinsip
organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi administratif, meskipun
kadangkala didalam pelaksanaannya birokratisasi seringkali mengakibatkan adanya
ketidakefisienan. Fritz Morstein Marx Dengan
mengutip pendapat Fritz Morstein Marx, Bintoro Tjokroamidjojo (1984)
mengemukakan bahwa birokrasi adalah ”Tipe organisasi yang dipergunakan
pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugas yang bersifat
spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi yang khususnya oleh
aparatur pemerintahan”
Birokrasi
merupakan wujud terbaik organisasi karena menyediakan konsistensi,
kesinambungan, kemungkinan meramalkan, stabilitas, sifat kewaspadaan, kinerja
efisien dari tugas-tugas, hak keadilan, rasionalisme, dan profesionalisme.
Ikhtisar singkat dari keuntungan-keuntungan birokrasi pemerintah adalah:
efisien, ideal dan cocok untuk memperkecil pengaruh dari politik dan pribadi di
dalam keputusan-keputusan organisatoris serta wujud terbaik organisasi karena
membiarkan memilih pejabat-pejabat untuk mengidentifikasi dan mengendalikan
yang bertanggung jawab untuk siapa atas apa yang dilakukan karena orientasi lebih pada melayani
pemerintah, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen
politis dengan sifat sangat otoritatif dan represif.
B.
Birokrasi
dalam konteks kebijakan pendidikan
Birokrasi pendidikan yang dimaksud disini adalah
penggunaan praktik-praktik birokrasi dalam pendidikan. Banyak persoalan yang
seharusnya bisa diselesaikan dengan segera menjadi berlarut-larut karna
rumitnya birokrasi contoh kasus tentang usulan perbaikan dan perawatan sarana
dan prasarana serta perlengkapan pendidikan yang diajukan oleh sekolah kepada
pemerintah bahkan diajukan setiap tahun, namun tidak ada respon dan penyelesaian
yang memadai dari birokrasi pemerintah daerah di provinsi dan kabupaten/kota
maupun pemerintah pusat.
Kondisi objektif ini menunjukkan bahwa sistem
sentralistik kebijakan pendidikan, penentuan alokasi anggaran yang selama ini
terjadi, meskipun sudah dilakukan kebijakan desentralisasi pemerintahan, bagi
sekolah pola sentralistik dari sekolah ke pemerintah daerah masih berjalan.
Sistem administrasi pendidikan khususnya pada pemerintah yang
diperankan oleh departemen-departemen pendidikan nasional, pemerintah provinsi
yang di perankan oleh dinas pendidikan provinsi, pemerintah kabupaten/kota yang
diperankan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota, serta satuan pendidikan pada
semua jenis dan jenjang yang menyelenggarakan program pembelajaran.
Khusus pada sistem administrasi pendidikan di sekolah kegiatannya
dilaksanakan oleh para profesional kependidikan dibawah koordinasi kepala
sekolah seperti guru, konselor, ahli kurikulum, dan profesional dibidang
kependidikan, sebagai organisasi profesional pada lembaga sekolah tidak ada
jabatan struktural yang mengacu pada sistem eselonering. Kepala sekolah sebagai
pimpinan sekolah bukan jabatan struktural, tetapi salah satu anggota
profesional kependidikan diberi tugas untuk memimpin dan melaksanakan sistem
administrasi sekolah dengan fokus kegiatan pada pembelajaran.
Birokrasi departemen pendidikan nasional atas nama pemerintah pusat
mempunyai tugas pokok menetapkan dan mengelola standar pendidikan sebagaimana
ditegaskan dalam UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 2 menyatakan pemerintah
menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin
mutu pendidikan nasional. Kebijakan standarisasi ini khususnya berkaitan dengan
kurikulum dalam bentuk garis-garis besar program pengajaran (GBPP), ketenagaan
yaitu menentukan persyaratan pendidikan dan pembinaan lanjutan untuk memenuhi
profesionalisme kependidikan, kesiswaan pada semua jenjang dan jenis
pendidikan, kelembagaan, mutu pendidikan melalui evaluasi hasil belajar, sarana
dan prasarana pendidikan yang diisyaratkan untuk pelaksanaan kegiatan
pembelajaran dan sebagainya.[4]
Pendapat ini sesuai dengan PP No. 25 tahun 2000 pasal 2 ayat 11
bidang pendidikan menyatakan bahwa pemerintah mempunyai kewenangan menetapkan
standar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional
dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya. Hal ini sejalan dengan UUSPN No. 20 tahun
2003 pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri
atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan, pembiyaan, dan penilaian pendidikan yang harus
ditingkatkan secara berencana dan berkala. Unsur-unsur penting dalam
pengelolaan tersebut diberi tanggung jawab kepada pejabat birokrasi seperti
sekertaris jendral, direktorat jendral, direktur, dan pejabat struktural
lainnya, semua pejabat birokrasi dan untuk membantu menentukan kebijakan
dibantu oleh lembaga penelitian dan pengembangan depdiknas. Mereka para pejabat
birokrasi ini muara kebijakan dan sasaran kerjanya adalah satuan pendidikan
dibawah tanggung jawab menteri. UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 1
menyatakan bahwa pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung
jawab menteri.
Kewenangan provinsi dalam bidang pendidikan menurut PP No. 25 tahun
2000 adalah: (1) penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa
dari masyarakat minoritas, terbelakang, dan atau tidak mampu; (2) penyediaan
bantuan pengadaan buku-buku taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan luar sekolah; (3) mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan
tinggi selain pengaturan kurikulum, akreditasi dan pengangkatan tenaga
akademis; (4) pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi; (5)
penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/atau penataran guru;
(6) penyelenggaraan museum, provinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan,
kajian sejarah dan nilai tradisional dan pengembangan bahasa dan budaya daerah.
Kewenangan provinsi ini diperkuat oleh UUSPN No. 20 tahun 2003
pasal 50 ayat 3 menyatakan pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan
fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat
pendidikan dasar dan menengah.[5]
C.
Patologi
birokrasi
Menurut Taliziduhu Ndraha, Miftah Thoha, Peter M. Blau, David Osborne,
JW Schoorl) Patologi birokrasi adalah penyakit, perilaku negatif, atau penyimpangan
yang dilakukan pejabat atau lembaga birokrasi dalam rangka melayani publik,
melaksanakan tugas, dan menjalankan program pembangunan. Patologi Birokrasi
(Bureaupathology) adalah himpunan dari perilaku-perilaku yang kadang-kadang
disibukkan oleh para birokrat. Fitur dari patologi birokrasi digambarkan oleh
Victor A Thompson seperti “sikap menyisih berlebihan, pemasangan taat pada
aturan atau rutinitas-rutinitas dan prosedur-prosedur, perlawanan terhadap
perubahan, dan desakan picik atas hak-hak dari otoritas dan status.
Prof. Dr.
Sondang P. Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah
agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia.
Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh
birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin
timbul baik bersifat politik, ekonomi, sosio-kultural dan teknologikal.
Risman K.
Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk
perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan
ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam
birokrasi.
Prof. Dr. Sondang P Siagian MPA dalam bukunya ”Patologi Birokrasi:
Analisis, Identifikasi dan Terapinya” (1994) menyebut serangkaian contoh
penyakit (patologi) birokrasi yang lazim dijumpai. Penyakit-penyakit tersebut dapat dikategorikan yakni :
1.
Persepsi gaya manajerial para
pejabat dilingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip prinsip demokrasi.
Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti penyalahgunaan wewenang dan
jabatan menerima sogok dan nepotisme.
2.
Rendahnya pengetahuan dan
keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional mengakibatkan
produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat
kesalahan
3.
Tindakan pejabat yang melanggar
hukum dengan penggemukan pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya.
4.
Manifestasi perilaku birokrasi yang
bersifat disfungsional atau negatif seperti sewenang wenang, pura pura sibuk
dan diskriminaitf
5.
Akibat situasi internal berbagai
instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi seperti imbalan
dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja
dan sistem pilih kasih.[6]
Adapun beberapa
jenis penyakit birokrasi yang sudah sangat dikenal dan dirasakan masyarakat
yaitu ketika setiap mengurus sesuatu di kantor pemerintah, pengurusannya
berbelit-belit, membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar, pelayanannya
kurang ramah, terjadinya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme dan lain-lain.
Sedangkan penyakit birokrasi yang lebih sistemik banyak sebutan yang
diberikan terhadapnya yaitu antara lain; politisasi birokrasi,
otoritarian birokrasi, birokrasi katabelece (Istianto, 2011:143).
Dalam dunia pendidikan masih banyak
juga terdapat gejala atau fakta yang menunjukkan bahwa birokrasi tidak mampu
memberikan layanan yang baik kepada pelanggan pendidikan. Hal ini dapat dilihat
dari fakta-fakta berikut ini :
1.
Adanya
keterlambatan dalam mensosialisasikan tentang perubahan kurikulum.
2.
Menurut
laporan banyaknya pungutan liar pada institusi pendidikan yang bermula dari
birokrasi yang salah;
3.
Penyelenggaraan
pendidikan dilakukan secara birokratik-sentralistik;
4.
Pembayaran
tunjangan guru yang lamban dikarenakan rumitnya birokrasi
5.
Keterlambatan
penerbitan ijazah SD s/d SLTA disinyalir karena birokrasi yang lamban.
6.
Menurut
penelitian ditemukan bahwa birokrasi pendidikan ternyata mengidap patologis
yang tingkat keparahannya cukup memprihatinkan. Paling tidak dalam penelitian
tersebut ditemukan empat jenis penyakit
a.
rigiditas
pelayanan,
b.
pungutan
birokrasi,
c.
formalitas
aktivitas birokrasi, dan
d.
sikap
instruktif aparat.
7.
Mentalitas
birokrasi yang dilumuri KKN rupanya masih melekat dimata publik setiap kali
berhadapan dengan aparatur pemerintah dan cara kerja mereka yang lambat dan
berbelit-belit serta berbiaya tinggi. Anggapan negatif menemukan aktualisasinya
pada keefektifan dan ketidakefienan mereka dalam melayani masyarakat.
IV.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa birokrasi adalah organisasi yang dipergunakan
pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugas yang bersifat
spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi yang khususnya oleh
aparatur pemerintahan. Dalam birokrasi pendidikan unsur-unsur penting dalam pengelolaan kebijakan pendidikan diberi
tanggung jawab kepada pejabat birokrasi seperti sekertaris jendral, direktorat
jendral, direktur, dan pejabat struktural lainnya, semua pejabat birokrasi dan
untuk membantu menentukan kebijakan dibantu oleh lembaga penelitian dan
pengembangan depdiknas
Kemudian patologi birokrasi adalah penyakit di dalam birokrasi atau bentuk
perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan
ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam
birokrasi.yang sangat mengganggu jalannya aktivitas di dalam birokrasi
tersebut. Penyakit birokrasi yang terjadi bukan saja membahayakan manusia di
dalam organisasi tersebut yang melakukannya tetapi juga orang lain di dalam
organisasi tersebut akan merasakan bahaya patologi birokrasi tersebut, bahkan
lebih dari itu patologi dalam birokrasi dapat mendatangkan bahaya bagi seluruh
masyarakat.
V.
Penutup
Demikian makalah ini kami buat. Semoga hadirnya
makalah ini dapat menambah wawasan, pengetahuan bagi kami khususnya maupun
pembaca. Masih banyak kekurangan dari makalah ini, untuk itu kritik dan saran
sangat kami perlukan. Sekian dari kami mohon maaf apabila ada kesalahan, atas perhatian pembaca kami ucapkan
terimakasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Thoha,
M. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007.
Sondang P. Siagian, Patologi
Birokrasi Analisis Identifikasi dan terapinya, (Jakarta: GhaliaIndonesia,
1994.
http://blogdoniumarsono.blogspot.co.id/2012/05/birokrasi-di-sekolah.html.
http://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi.
http://www.e-jurnal.com/2013/12/potret-birokrasi-pendidikan-di-indonesia.html.
[2] Thoha, M. Perilaku
Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007), hal. 61
[3]
http://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi
[4]
http://blogdoniumarsono.blogspot.co.id/2012/05/birokrasi-di-sekolah.html
[5]
http://www.e-jurnal.com/2013/12/potret-birokrasi-pendidikan-di-indonesia.html
[6]
Sondang P. Siagian, Patologi
Birokrasi Analisis Identifikasi dan terapinya, (Jakarta: GhaliaIndonesia,
1994), hal.35-81.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar