Selasa, 30 Mei 2017

Analisis kebijakan pendidikan

BIROKRASI DAN PATOLOGI BIROKRASI 
KEBIJAKAN PENDIDIKAN



      I.          Pendahuluan
Birokrasi tidak bisa dilepaskan dalam sistem pemerintahan maupun pendidikan di Indonesia. Dalam dunia pendidikan, sebuah organisasi sangat diperlukan dalam rangka memperlancar fungsi dan proses pendidikan. Dalam menjalankan fungsi organisasi pendidikan tidaklah dapat dipisahkan dengan birokrasi. Pada dasarnya, birokrasi ini hakikatnya adalah salah satu perangkat yang fungsinya untuk memudahkan pelayanan publik. Birokrasi digunakan untuk dapat membantu mempermudah dalam memberikan layanan pendidikan yang pasti akan mempengaruhi dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Birokrasi merupakan instrumen pembangunan pendidikan. Kekuatan birokrasi Indonesia sebetulnya bisa menjadi mesin penggerak yang luar biasa apabila mampu didayagunakan untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Jika birokrasi dijalankan dengan benar, konsisten dan bertanggungjawab, maka kualitas pendidikan akan maju.
Keberadaan birokrasi sampai saat ini masih membawa polemik yang berkepanjangan. Birokrasi di Indonesia tidak pernah lepas dari permasalahan. Persoalan penyakit birokrasi atau yang sering disebut patologi birokrasi bersumber dari rekruitmen dan penempatan birokrat yang tidak berdasarkan merit system (berdasarkan jenjang karir). Selain itu keterlibatan birokrasi dalam politik dianggap sebagai hal yang harus diwaspadai karena birokrasi bukanlah institusi atau lembaga yang bisa mewakilkan kepentingan kelompok atau golongan tertentu.
Secara makro atau nasional persoalan birokrasi di Indonesia lebih didominasi karena kurangnya pemisahan yang jelas antara kepentingan politik dan administrasi. Masih sering dijumpai birokrat terlibat secara aktif dalam kegiatan politik dan juga adanya politisi yang selalu mendominasi proses-proses birokrasi sehinggga kebijakan yang diambil dalam birokrasi merupakan kebijakan politik dari orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu. Upaya meminimalisir penyakit yang terjadi di birokrasi diharapkan dapt membawa perubahan terhadap pelayanan publik yang prima. Maka dari itu dalam makalah ini akan dibahas secara mendetail tentang birokrasi pendidikan serta patologi birokrasi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
   II.          Rumusan Masalah
A.    Apa pengertian birokrasi?
B.    Bagaimana definisi brokrasi dalam konteks kebijakan pendidikan?
C.    Bagaimana definisi patologi birokrasi ?

 III.          Pembahasan
A.  Definisi birokrasi
Birokrasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: (a) sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan, dan (b) cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan yang banyak liku-likunya.[1]
Ditinjau dari sudut etimologi, birokrasi berasal dari kata bureau dan kratia (Yunani), bureau artinya meja atau kantor dan kratia artinya pemerintahan. Jadi birokrasi berarti pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dari meja ke meja. Birokrasi adalah alat kekuasaan untuk menjalankan keputusan-keputusan politik. Kekuasaan melekat pada jabatan pimpinan organisasi untuk mengatur organisasi.[2]
Birokrasi merupakan suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida dan biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer. Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi.[3]
Pejabat yang disebut birokrat itu melaksanakan tugasnya sesuai  dengan peran dan fungsinya. Birokrasi terjadi dalam suatu organisasi (pemerintah), sementara itu dalam suatu organisasi terdiri dari individu-individu yang bekerja. Individu-individu yang bekerja itulah yang memainkan peran dalam birokrasi. Untuk itu penting juga untuk memahami motivasi karir individu dalam organisasi. Seorang individu yang bekerja dalam organisasi ada yang memiliki motivasi untuk meniti karir tertinggi, tapi ada juga yang ingin tetap pada satu posisi yang saat ini diduduki. Permasalahan sering muncul ketika seorang individu yang menduduki posisi tertentu tidak lagi mampu melaksanakan tugas dan fungsi seperti yang diinginkan. Dalam kondisi semacam ini seringkali individu menerapkan strategi “tidak melakukan apa-apa”
Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (1984) ”Birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang”. Dengan demikian sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi adalah agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan terorganisir. Bagaimana suatu pekerjaan yang banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh banyak orang sehingga tidak terjadi tumpang tindih di dalam penyelesaiannya, itulah yang sebenarnya menjadi tugas dari birokrasi.
Blau dan Page (1956) mengemukakan ”Birokrasi sebagai tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang”. Jadi menurut Blau dan Page, birokrasi justru untuk melaksanakan prinsip-prinsip organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi administratif, meskipun kadangkala didalam pelaksanaannya birokratisasi seringkali mengakibatkan adanya ketidakefisienan. Fritz Morstein Marx Dengan mengutip pendapat Fritz Morstein Marx, Bintoro Tjokroamidjojo (1984) mengemukakan bahwa birokrasi adalah ”Tipe organisasi yang dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugas yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi yang khususnya oleh aparatur pemerintahan”
Birokrasi merupakan wujud terbaik organisasi karena menyediakan konsistensi, kesinambungan, kemungkinan meramalkan, stabilitas, sifat kewaspadaan, kinerja efisien dari tugas-tugas, hak keadilan, rasionalisme, dan profesionalisme. Ikhtisar singkat dari keuntungan-keuntungan birokrasi pemerintah adalah: efisien, ideal dan cocok untuk memperkecil pengaruh dari politik dan pribadi di dalam keputusan-keputusan organisatoris serta wujud terbaik organisasi karena membiarkan memilih pejabat-pejabat untuk mengidentifikasi dan mengendalikan yang bertanggung jawab untuk siapa atas apa yang dilakukan  karena orientasi lebih pada melayani pemerintah, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen politis dengan sifat sangat otoritatif dan represif.
B.  Birokrasi dalam konteks kebijakan pendidikan
Birokrasi pendidikan yang dimaksud disini adalah penggunaan praktik-praktik birokrasi dalam pendidikan. Banyak persoalan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan segera menjadi berlarut-larut karna rumitnya birokrasi contoh kasus tentang usulan perbaikan dan perawatan sarana dan prasarana serta perlengkapan pendidikan yang diajukan oleh sekolah kepada pemerintah bahkan diajukan setiap tahun, namun tidak ada respon dan penyelesaian yang memadai dari birokrasi pemerintah daerah di provinsi dan kabupaten/kota maupun pemerintah pusat.
Kondisi objektif ini menunjukkan bahwa sistem sentralistik kebijakan pendidikan, penentuan alokasi anggaran yang selama ini terjadi, meskipun sudah dilakukan kebijakan desentralisasi pemerintahan, bagi sekolah pola sentralistik dari sekolah ke pemerintah daerah masih berjalan.
Sistem administrasi pendidikan khususnya pada pemerintah yang diperankan oleh departemen-departemen pendidikan nasional, pemerintah provinsi yang di perankan oleh dinas pendidikan provinsi, pemerintah kabupaten/kota yang diperankan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota, serta satuan pendidikan pada semua jenis dan jenjang yang menyelenggarakan program pembelajaran.
Khusus pada sistem administrasi pendidikan di sekolah kegiatannya dilaksanakan oleh para profesional kependidikan dibawah koordinasi kepala sekolah seperti guru, konselor, ahli kurikulum, dan profesional dibidang kependidikan, sebagai organisasi profesional pada lembaga sekolah tidak ada jabatan struktural yang mengacu pada sistem eselonering. Kepala sekolah sebagai pimpinan sekolah bukan jabatan struktural, tetapi salah satu anggota profesional kependidikan diberi tugas untuk memimpin dan melaksanakan sistem administrasi sekolah dengan fokus kegiatan pada pembelajaran.
Birokrasi departemen pendidikan nasional atas nama pemerintah pusat mempunyai tugas pokok menetapkan dan mengelola standar pendidikan sebagaimana ditegaskan dalam UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 2 menyatakan pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Kebijakan standarisasi ini khususnya berkaitan dengan kurikulum dalam bentuk garis-garis besar program pengajaran (GBPP), ketenagaan yaitu menentukan persyaratan pendidikan dan pembinaan lanjutan untuk memenuhi profesionalisme kependidikan, kesiswaan pada semua jenjang dan jenis pendidikan, kelembagaan, mutu pendidikan melalui evaluasi hasil belajar, sarana dan prasarana pendidikan yang diisyaratkan untuk pelaksanaan kegiatan pembelajaran dan sebagainya.[4]
Pendapat ini sesuai dengan PP No. 25 tahun 2000 pasal 2 ayat 11 bidang pendidikan menyatakan bahwa pemerintah mempunyai kewenangan menetapkan standar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya.  Hal ini sejalan dengan UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiyaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Unsur-unsur penting dalam pengelolaan tersebut diberi tanggung jawab kepada pejabat birokrasi seperti sekertaris jendral, direktorat jendral, direktur, dan pejabat struktural lainnya, semua pejabat birokrasi dan untuk membantu menentukan kebijakan dibantu oleh lembaga penelitian dan pengembangan depdiknas. Mereka para pejabat birokrasi ini muara kebijakan dan sasaran kerjanya adalah satuan pendidikan dibawah tanggung jawab menteri. UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab menteri.
Kewenangan provinsi dalam bidang pendidikan menurut PP No. 25 tahun 2000 adalah: (1) penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang, dan atau tidak mampu; (2) penyediaan bantuan pengadaan buku-buku taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan luar sekolah; (3) mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan kurikulum, akreditasi dan pengangkatan tenaga akademis; (4) pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi; (5) penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/atau penataran guru; (6) penyelenggaraan museum, provinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah dan nilai tradisional dan pengembangan bahasa dan budaya daerah.
Kewenangan provinsi ini diperkuat oleh UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 3 menyatakan pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.[5]
C.    Patologi birokrasi
Menurut Taliziduhu Ndraha, Miftah Thoha, Peter M. Blau, David Osborne, JW Schoorl) Patologi birokrasi adalah penyakit, perilaku negatif, atau penyimpangan yang dilakukan pejabat atau lembaga birokrasi dalam rangka melayani publik, melaksanakan tugas, dan menjalankan program pembangunan. Patologi Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari perilaku-perilaku yang kadang-kadang disibukkan oleh para birokrat. Fitur dari patologi birokrasi digambarkan oleh Victor A Thompson seperti “sikap menyisih berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas-rutinitas dan prosedur-prosedur, perlawanan terhadap perubahan, dan desakan picik atas hak-hak dari otoritas dan status.
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, sosio-kultural dan teknologikal.
Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi.
Prof. Dr. Sondang  P Siagian MPA dalam bukunya ”Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi dan Terapinya” (1994) menyebut serangkaian contoh penyakit (patologi) birokrasi yang lazim dijumpai. Penyakit-penyakit tersebut dapat dikategorikan yakni :
1.     Persepsi gaya manajerial para pejabat dilingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok dan nepotisme.
2.     Rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan
3.     Tindakan pejabat yang melanggar hukum dengan penggemukan pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya.
4.     Manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif seperti sewenang wenang, pura pura sibuk dan diskriminaitf
5.     Akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi seperti imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja dan sistem pilih kasih.[6]
Adapun beberapa jenis penyakit birokrasi yang sudah sangat dikenal dan dirasakan masyarakat yaitu ketika setiap mengurus sesuatu di kantor pemerintah, pengurusannya berbelit-belit, membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar, pelayanannya kurang ramah, terjadinya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme dan lain-lain. Sedangkan penyakit birokrasi yang lebih sistemik banyak sebutan yang diberikan  terhadapnya yaitu antara lain; politisasi birokrasi, otoritarian birokrasi, birokrasi katabelece (Istianto, 2011:143).
Dalam dunia pendidikan masih banyak juga terdapat gejala atau fakta yang menunjukkan bahwa birokrasi tidak mampu memberikan layanan yang baik kepada pelanggan pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari fakta-fakta berikut ini :
1.     Adanya keterlambatan dalam mensosialisasikan tentang perubahan kurikulum.
2.     Menurut laporan banyaknya pungutan liar pada institusi pendidikan yang bermula dari birokrasi yang salah;
3.     Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara birokratik-sentralistik;
4.     Pembayaran tunjangan guru yang lamban dikarenakan rumitnya birokrasi
5.     Keterlambatan penerbitan ijazah SD s/d SLTA disinyalir karena birokrasi yang lamban.
6.     Menurut penelitian ditemukan bahwa birokrasi pendidikan ternyata mengidap patologis yang tingkat keparahannya cukup memprihatinkan. Paling tidak dalam penelitian tersebut ditemukan empat jenis penyakit
a.      rigiditas pelayanan,
b.     pungutan birokrasi,
c.      formalitas aktivitas birokrasi, dan
d.     sikap instruktif aparat.
7.     Mentalitas birokrasi yang dilumuri KKN rupanya masih melekat dimata publik setiap kali berhadapan dengan aparatur pemerintah dan cara kerja mereka yang lambat dan berbelit-belit serta berbiaya tinggi. Anggapan negatif menemukan aktualisasinya pada keefektifan dan ketidakefienan mereka dalam melayani masyarakat.
 IV.          Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa birokrasi adalah organisasi yang dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugas yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi yang khususnya oleh aparatur pemerintahan. Dalam birokrasi pendidikan unsur-unsur penting dalam pengelolaan kebijakan pendidikan diberi tanggung jawab kepada pejabat birokrasi seperti sekertaris jendral, direktorat jendral, direktur, dan pejabat struktural lainnya, semua pejabat birokrasi dan untuk membantu menentukan kebijakan dibantu oleh lembaga penelitian dan pengembangan depdiknas
Kemudian patologi birokrasi adalah penyakit di dalam birokrasi atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi.yang sangat mengganggu jalannya aktivitas di dalam birokrasi tersebut. Penyakit birokrasi yang terjadi bukan saja membahayakan manusia di dalam organisasi tersebut yang melakukannya tetapi juga orang lain di dalam organisasi tersebut akan merasakan bahaya patologi birokrasi tersebut, bahkan lebih dari itu patologi dalam birokrasi dapat mendatangkan bahaya bagi seluruh masyarakat.
    V.          Penutup
Demikian makalah ini kami buat. Semoga hadirnya makalah ini dapat menambah wawasan, pengetahuan bagi kami khususnya maupun pembaca. Masih banyak kekurangan dari makalah ini, untuk itu kritik dan saran sangat kami perlukan. Sekian dari kami mohon maaf apabila ada kesalahan,  atas perhatian pembaca kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Thoha, M. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Sondang P. Siagian, Patologi Birokrasi Analisis Identifikasi dan terapinya, (Jakarta: GhaliaIndonesia, 1994.
http://blogdoniumarsono.blogspot.co.id/2012/05/birokrasi-di-sekolah.html.
http://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi.
http://www.e-jurnal.com/2013/12/potret-birokrasi-pendidikan-di-indonesia.html.






[1]
[2] Thoha, M. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 61
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi
[4] http://blogdoniumarsono.blogspot.co.id/2012/05/birokrasi-di-sekolah.html
[5] http://www.e-jurnal.com/2013/12/potret-birokrasi-pendidikan-di-indonesia.html
[6] Sondang P. Siagian, Patologi Birokrasi Analisis Identifikasi dan terapinya, (Jakarta: GhaliaIndonesia, 1994), hal.35-81.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar